Friday, April 20, 2007

Narnia Memang Datar

- pandangan pribadi untuk film The Chronicles of Narnia, The Lion, the Witch and the Wardrobe

Mengintip Filmnya

Film The Chronicles of Narnia, The Lion, the Witch and the Wardrobe dimulai dengan secuil kisah Perang Dunia II yang memaksa keempat Pevensie bersaudara diungsikan ke rumah Profesor Kirke (Jim Broadbent). Keempat anak tersebut mulai dari yang tertua ialah Peter (William Moseley), Susan (Anna Popplewell), Edmund (Skandar Keynes), dan Lucy (Georgie Henley).

Ketika hari hujan, mereka bermain petak umpet, saat Peter hampir selesai menghitung (sampai 100 hitungan), Lucy yang terburu-buru mencari tempat persembunyian memasuki sebuah lemari. Setelah menyibakkan jubah-jubah yang tergantung di sana, Lucy mendapati dirinya tertusuk ranting pohon dan menginjak tanah bersalju, bukannya lantai lemari. Agak di kejauhan ia melihat sebuah tiang lampu dan kemudian bertemu dengan Pak Tumnus (James McAvoy), makhluk setengah manusia setengah kambing, yang menjelaskan bahwa kini ia berada di Narnia, negeri yang "selalu musim dingin tetapi tak pernah ada Natal" gara-gara ulah si Penyihir Putih, Jadis (Tilda Swinton).

Beberapa jam Lucy singgah di gua Pak Tumnus, namun anehnya, ketika ia kembali ke ruang kosong tadi, Peter baru saja selesai menghitung. Lucypun menceritakan pengalamannya yang tentu saja tidak mereka percayai.

Akhirnya, mereka berempat memasuki Lemari Ajaib itu dan bersama-sama sampai ke Narnia, menemukan bahwa cerita Lucy selama ini benar adanya. Sedihnya, mereka menemukan gua Pak Tumnus berantakan dan ada selebaran yang menjelaskan bahwa Pak Tumnus ditangkap oleh polisi si penyihir karena dianggap berkhianat dengan menolong Lucy.

Bertemulah mereka dengan Pak dan Bu Berang-berang (suara Ray Winstone dan Dawn French), yang menjelaskan apa yang tengah terjadi. Kedatangan mereka berempat, keturunan Adam dan Hawa, ternyata sudah diramalkan dalam sebuah syair kuno. Aslan (suara Liam Neeson), sang Singa penguasa tertinggi bumi Narnia, juga dikabarkan telah muncul kembali untuk menghadapi si penyihir.

Di tengah-tengah percakapan itu, Edmund diam-diam menyelinap ke luar, berniat menemui Penyihir Putih. Ketiga saudaranya, dengan pertolongan Pak dan Bu Berang-berang, pergi menemui Aslan, meminta pertolongan.

Edmund yang berharap akan kembali mendapat perlakuan baik dari Jadis justru diperlakukan secara buruk. Di dalam penjara istana Jadis, ia bertemu dengan Pak Tumnus yang kemudian ia lihat telah diubah menjadi batu oleh Jadis.

Mendengar Edmund ditawan, pasukan Aslan segara membebaskan Edmund dan membawanya kepada Aslan. Namun Jadis tidak dapat menerimanya. Ia menganggap bahwa Edmund seorang penghianat, dan semua penghianat adalah miliknya. Bila hal itu dilanggar maka dunia Narnia akan dijungkir balikkan. Hal ini menjadi dilema sebuah dilema. Bila Edmund diserahkan maka ramalan syair kuno mengenai empat anak manusia yang akan membebaskan Narnia tidak akan terjadi. Sebaliknya bila Edmund tidak diserahkan maka Narnia akan dijungkir balikkan.

Akhirnya setelah mengadakan perbicangan dengan Jadis disepakati bahwa Aslan akan menggantikan posisi Edmund. Hal ini tidak diketahui oleh siapapun termasuk oleh Susan dan Lucy yang mengikuti Aslan ketika ia menuju ke tempat Jadis. Di Stone Table, Aslan menyerahkan diri, ia diikat, digunduli surainya, lalu dibunuh oleh Jadis. Aslan, Sang Penguasa Narnia pun tewas seketika itu juga.

Kesan yang Didapat

Bagi Anda yang telah terbuai keindahan dan kemegahan film Trilogi The Lord of The Ring (LOTR) kemungkinan besar Anda akan jenuh melihat film ini. Dan itulah yang saya rasakan.

Keajaiban dunia Narnia yang membuat segala sesuatu mungkin terjadi tidak dapat dibeberkan dengan indah oleh Andrew Adamson, sebagai sutradara film ini. Yang terjadi justru pemaparan serba tanggung yang hanya sekali tampil, walau tujuannya untuk membuat penonton selalu terperangah saat melihat sesuatu yang baru. Peristiwa berakhirnya musim dingin dan berubahnya patung penghuni Narnia jauh dari kesan indah dan mempesona. Peperangan pun hanya bagus dengan banyaknya jumlah dan macam mahluk dimasing-masing pihak, tapi terlalu sebentar untuk ukuran pasukan sebanyak itu. Simak bagaimana angkatan udara Peter yang justru tidak dihadapi oleh Naga yang dimiliki Jadis. Raksasa pengikut Jadis pun hanya bisa 'bercanda' saat pertempuran. Tidak ada peristiwa heriok yang ditunjukkan masing tokoh kecuali Edmund yang bertanding melawan Jadis. Seharusnya perangnya bisa lebih dahsyat dari yang ini.

Untuk keperluan 'keindahan' film, beberapa adegan cerita telah diubah oleh Andrew. Walaupun secara umum perubahan tersebut tidak mengurangi nilai utama dari film ini namun sayangnya perubahannya bersifat tanggung dan ada kalanya ikut menghilangkan pesan-pesan yang terdapat di buku.

Dialog cerdas antara Profesor Kirke dengan Peter dan Susan diubah menjadi lebih sederhana tetapi maknanya justru tidak terlalu dalam. Latar belakang masukkan keempat anak ke Narnia pun juga diubah dengan alasan merasa dikejar Ny Macready karena mereka habis memecahkan kaca jendela. Suatu bentuk pelarian dari tanggungjawab! Kenyataannya, di buku, mereka masuk ke lemari karena memang enggan bertemu Ny Macready yang saat itu membawa turis berkeliling rumah profesor Kirke.

Sosok Aslan-pun juga tidaklah semegah yang dilukiskan sebelumnya. Awalnya saya sempat terkecoh, mengira Aslan akan muncul saat terompet dibunyikan ketika Pevensi bersaudara dan Berang-berang tiba di tempat Aslan. Sedangkan penonton dibelakang saya justru menganggap macan tutul yang berseliweran (terkesan menyelinap) diantara pasukan Aslan ialah Aslannya. Namun, semua rasa penasaran tersebut sontak runtuh bahkan berubah jadi senyum kecut saat melihat Aslan yang muncul dalam kesederhanaan. Jauh sekali dari kesan perkasa yang coba diciptakan sejak semula.

Dalam hal ini mungkin Andrew hendak menggambarkan sosok Aslan sebagai pemimpin yang tidak menakutkan tapi tetap agung. Hanya saja, kesan agung justru tidak nampak, selain badannya yang kadang membesar. Auman Aslan dalam beberapa kali kesempatan juga tidak mampu membuat penonton bergetar, setidaknya musuh ketakutan.

Yang paling fatal ialah proses pengorbanan Aslan menuju ke Stone Table digambarkan secara ringkas dan kurang begitu berkesan. Setelah bangkit dari kematian seharusnya Aslan bercanda dulu dengan Susan dan Lucy yang begitu terpukul dengan kematiannya, namun tidak di film. Ia terlalu terburu-buru untuk membebaskan penghuni Narnia dibandingkan bermain-main dengan anak kecil. Selain itu, proses pengubahan patung kembali ke ujud semula juga dilakukan dengan cepat. Tidak ada gegap gembita kegembiraan para mahluk Narnia. Kegembiraan singa yang satunya saat melihat Aslan, dan juga kemarahan Raksasa yang ingin membunuh Jadis hilang dari pandangan mata.

Pesan Moral

Untungnya pesan moral yang ditekankan oleh Lewis melalui cerita Narnia tidak terleliminasi secara telak di filmnya. Beberapa nilai moral yang harus dimiliki oleh anak-anak tetap ditonjolkan dalam film ini. Simak bagaimana Lucy mengajak berjabat tangan Pak Tumnus walau ia sendiri tidak tahu apa artinya. Dan simak pula pertolongan Lucy dengan memberikan sapu tangannya saat melihat Pak Tumnus menangis. Nasihat Aslan untuk tidak mempersoalkan yang sudah terjadi saat mempertemukan Edmund dan saudara-saudaranya juga patut kita acungi jempol.

Sosok Lucy yang tampil lugu dan polos memang menarik untuk disimak. Tidak terlalu berlebihan rasanya bila Lucy dianggap penggambaran anak ideal yang diimpikan oleh semua orang tua di dunia ini. Lihatlah bagaimana ia memeluk Edmund ketika bertemu di Narnia untuk pertama kalinya dan ia pula yang pertama kali berteriak memanggil Edmund lalu memeluknya begitu tahu Edmund sudah dibebaskan. Padahal sebelumnya Edmund sering melukai hatinya. Walaupun tidak ada kata maaf tetapi perbuatannya melebihi dari sekedar kata maaf.

Sayangnya sosok Peter dan Susan tidak digambarkan sesuai dengan bukunya. Lewis tidak pernah menceritakan keinginan mereka untuk kembali ke rumah walaupun bahaya menghadang di depan. Sebaliknya di film Susan digambarkan sebagai sosok gadis yang enggan menghadapi masalah sedangkan Peter sebagai orang yang selalu ragu-ragu walau mereka semua telah diramalkan akan menjadi Raja dan Ratu Narnia. Tapi OK-lah lupakan pergeseran peran dan tangkaplah makna bahwa sosok Peter dan Susan sering kita temui atau bahkan kita sendiri mengalaminya.

Sedangkan Edmund, walaupun berperan sebagai pengkhianat namun keberanian dan kecerdikannya saat berperang melawan Jadis patut diacungi jempol. Pada dasarnya Edmund-pun juga memiliki sifat belas kasihan. Simak bagaimana ia berusaha menolong Pak Tumnus dan serigala yang berpihak kepada Aslan.

Lalu Bagaimana?

Tentu saja segera tonton film tersebut bagi yang belum menonton. Hanya saja bagi Anda yang mengagumi film LOTR, singkirkan dulu kekaguman Anda sewaktu menyaksikan film Narnia. Pun jangan membayangkan kemegahan dan kedahsyatan Narnia saat menyaksikan film ini. Terlepas dari itu, banyaknya nilai-nilai moral yang ada difilm ini membuat film ini tetap layak untuk disimak oleh siapapun juga. Semoga film berikutnya bisa lebih baik lagi.

2 comments:

  1. Semoga episode berikutnya tidak datar, nanjak gitu. Tapi mungkin karena segmennya juga cuma buat anak-anak. Jadi segitu cukup lah.

    ReplyDelete
  2. Mas Hardono, tepat betul komentarnya! Begitulah yang saya rasakan waktu melihat Narnia ini. Mungkin karena sudah baca seluruh seri Narnia sambil membayangkan setting-nya seperti di LOTR. Tapi agak tertolong juga sih, karena saya suka dengan musik-musik yang mengiringinya, bernuansa Celtic.

    Dan mungkin seperti yang dikatakan Mas Kristian, karena untuk konsumsi anak-anak juga, makanya hampir tidak ada ekspose darah selama film. Sebetulnya versi layar lebar ini jauh mendingan dibandingkan versi seri VCD/DVD yang saya lihat. Anyhow, kalau nanti ada film untuk seri lain, saya tetap bakal nonton =D

    ReplyDelete